Filmtiga dara karya Usmar Ismail di masa lalu, kini di kenang oleh Google, mengingatkan kita yang lupa dengan karya leluhur kita sendiri. Puntung Berasap merupakan buku kumpulan puisi karya Usmar Ismail yg diterbitkan tahun 1950. satu di antara puisi dlm buku tersebut adalah 'Lambang Kasih' (1944):Lambang kasih kita, Irma ialah bulan Friday, April 12, 2019 Edit Kumpulan puisi Usmar Ismail Kumpulan puisi lawas, Kumpulan puisi menarik, puisi "Citra" karya usmar ismail merupakan contoh puisi yang sangat menarik untuk kita simak, baca juga karya-karya terbaik lainnya, yuk!! kita baca dan simak puisinya "Citra" Citra,.. Engkau membayang, waktu subuh mendatang Citra,.. Kau gelisah malam dalam kabut suram, Kau dekap malam kelam pelukan penghabisan, kau singkap tirai kabut dan selubung tenggelam kau jumpai dalam rimba malam Citra,.. Kau bayang abadi dalam kabut fajar. Bagaimana?, Menarik bukan!!mari kita baca, kenang dan lestarikan contoh puisi lainnya karya Usmar Ismail dan juga sastrawan lainnya agar kita lebih menghargai karya para sastrawan indonesia. Semoga bermanfaat, Terima Kasih... Baca Juga Puisi Diserang Rasa - Usmar Ismail Puisi Kita berjuang - Usmar Ismail Puisi Caya merdeka - Usmar ismail //Kunjungi//Suka//Shere//komentar//
UsmarIsmail (20 Maret 1921 - 2 Januari 1971) adalah seorang sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia yang berdarah Minangkabau. Ia diangga
Pujangga dan Cita-Cita Bertanya aku pada Pujangga Jikalau Tuan orang pemuja Cita-cita yang suci murni Pernahkah Tuan menguji diri Membongkar batin 'nyiasat jiwa Sebelum Tuan ikut bernyanyi? Benarkah menyala di dada Tuan Asia Raya, Buah pujaan? Janganlah hendaknya, wahai Pujangga Cita-cita jadi mainan kata, Sekedar untuk pengisi 'laman Sebagai hiburan sendau-gurauan! Carilah dulu perjuangan jiwa Carilah Asia di dalam dada! Jikalaulah jelas di dalam hati 'lah berpadu jiwa dan cita-cita Pujalah Tuan Pembangkit bangsa Tuanlah Pujangga seni sejati! Sekiranya Tuan hanyalah bijak berkata-kata Bah'gialah dengan Kurnia Yang Maha Esa Tapi janganlah, jangan disentuh "Taruhan Jiwa" Berdosalah Tuan kepada Asia... Kepada Bangsa. Puisi Pujangga dan Cita-Cita Karya Usmar Ismail Puisi Kita Berjuang (Karya Usmar Ismail) Terbangun aku, terloncat duduk Kulayangkan pandang jauh keliling Kulihat hari 'lah terang, jernih 'lah falak Telah lamalah kiranya fajar menyingsing. Kuisap Legalah dada Kupijak tanah Tiada guyah. Kudengar bisikan Hatiku rawan: "Kita berperang, Kita berjuang!" Thursday, April 11, 2019 Edit Kumpulan puisi Usmar Ismail kumpulan puisi karya Usmar Ismail diserang rasa merupakan salah satu karya terbaik sastrawan terkenal Usmar Ismail yang patut dikenang dan dilestarikan. Masih banyak lagi karya terbaik lainnya dari sastrawan Usmar Ismail, Yuk!! baca pusinya dan simak puisi lainnya "Diserang Rasa" Apa hendak dikata jika rasa bersimarajalela didalam batin gelisah saja seperti menanti suatu yang tak hendak tiba Pelita harapan berkelip-kelip tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi bertambah kelesah hati yang gundah sangsi, kecewa, meradang resah benci, dendam......rindu, cinta...... Ah..hujan rinai di waktu angin bertiup kencang memercik muka kemudian reda, ...tenang....., di dalam mata air bergenang kembali harapan, kekuatan semakin nyata dari yang sudah-sudah, sebelum jiwa di serang rasa..... Masih banyak contoh puisi terkenal lainnya yang sepatutnya kita kenang dan lestarikan, karena setiap karya tersimpan banyak makna dan petuah yang dapat kita ambil manfaatnya. Terima kasih..... Baca Juga Puisi Kita Berjuang - Usmar Ismail Puisi Citra - Usmar Ismail Puisi Caya Merdeka - Usmar Ismail //Kunjungi//suka//Shere//komentar// KumpulanPuisi Terbaik. KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI. Karya : Taufiq Ismail dari Tirani dan Benteng, 1993. Tidak ada lagi pilihan. Karya: Usmar Ismail. Apa hendak dikata. Jika rasa bersimaharajalela. Di dalam batin gelisah saja. Seperti menanti suatu yang hendak tiba. Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga perkuliahan, kita pasti pernah diberi edukasi materi mengenai sastra, dan salah satu yang paling familiar adalah Puisi Taufik Ismail yang sangat terkenal. By the way, siapakah beliau dan bagaimana perjalanan karirnya? Simak ulasan dari Senipedia berikut ini. Puisi merupakan suatu karya sastra lama yang terdiri dari beberapa bait, diserapi pemaknaan mendalam akan suatu hal. Banyak penyair hebat asal Indonesia yang terjun dalam bidang ini, termasuk Puisi karya Taufik Ismail yang kita bahas pada artikel ini. Selain beliau, masih ada penulis puisi yang tersohor lainnya seperti Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Widji Thukul, dan lain-lain. Karya-karya mereka telah diakui dan dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia, hingga sekarang. Taufik Ismail adalah seorang sastrawan penulis dan penyair legendaris asal Indonesia, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 25 Juni 1935, dan sekarang telah berusia 85 tahun. Dia dijuluki Datuk Panji Alam Khalifatullah. Cita-citanya yang ingin menjadi sastrawan telah dipupuk sejak masa SMA. Uniknya, dia lebih dulu menjadi dokter hewan, namun alasannya adalah untuk menopang biaya dalam mewujudkan impiannya, menjadi seorang sastrawan tersebut. Sepanjang perjalanan karir Taufik Ismail, dia telah meraih banyak penghargaan, diantaranya Anugerah Seni dari Pemerintah RI 1970, Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia 1977, South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand 1994 dan lainnya. Nah, setelah mengetahui biografi singkat beliau di atas, mari simak bersama-sama mengenai beberapa koleksi Puisi Ciptaan Taufik Ismail yang sangat fenomenal di bawah ini. Siapkan kopi, cemilan dan selamat membaca. Puisi Taufik Ismail Tentang Cinta Dunia percintaan sangat identik dengan keromantisan, dan di dalam unsur-unsur puisi, terdapat pula romantisme yang akrab dengan hal cinta. Para penyair umumnya memang sangat hebat dalam merangkai kata-kata, termasuk ungkapan cinta dalam bentuk puisi. Berikut, adalah beberapa puisi cinta karya Taufik Ismail yang bisa kamu ekspresikan kepada pasangan, keluarga, agama maupun akan satu hal. Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa Jika adalah yang harus kaulakukan, Ialah menyampaikan kebenaran, Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan, Ialah yang bernama keyakinan… Jika adalah yang harus kau tumbangkan, Ialah segala pohon-pohon kezaliman, Jika adalah orang yang harus kauagungkan, Ialah hanya Rasul Tuhan… Jika adalah kesempatan memilih mati, Ialah syahid di jalan Ilahi… Mencari Sebuah Masjid Aku diberitahu tentang sebuah masjid, yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan, fondasinya batu karang dan pualam pilihan, atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan, dan kubahnya tembus pandang, berkilauan, digosok topan kutub utara dan selatan… Aku rindu dan mengembara mencarinya… Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan, dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran, dengan warna platina dan keemasan, berbentuk daun-daunan sangat beraturan, serta sarang lebah demikian geometriknya, ranting dan tunas jalin berjalin, bergaris-garis gambar putaran angin… Aku rindu dan mengembara mencarinya… Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya, menyentuh lapisan ozon, dan menyeru azan tak habis-habisnya, membuat lingkaran mengikat pinggang dunia, kemudian nadanya yang lepas-lepas, disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas, yang memperindah ratusan juta sajadah, di setiap rumah tempatnya singgah… Aku rindu dan mengembara mencarinya… Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana, bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya, engkau berjalan sampai waktu asar, tak bisa kau capai saf pertama, sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu, bershalatlah di mana saja, di lantai masjid ini, yang luas luar biasa… Aku rindu dan mengembara mencarinya… Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya, yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya, dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya, di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian, yang menyimpan cahaya matahari, kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan, ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna, di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta, terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita… Aku rindu dan mengembara mencarinya… Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya, tempat orang-orang bersila bersama, dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka, dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian, dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan, dalam simpul persaudaraan yang sejati, dalam hangat sajadah yang itu juga, terbentang di sebuah masjid yang mana, Tumpas aku dalam rindu, Mengembara mencarinya… Di manakah dia gerangan letaknya ?… Pada suatu hari aku mengikuti matahari, ketika di puncak tergelincir dia sempat, lewat seperempat kuadran turun ke barat, dan terdengar merdunya azan di pegunungan, dan aku pun melayangkan pandangan, mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan, ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan… dia berkata Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan, dia menunjuk ke tanah ladang itu, dan di atas lahan pertanian dia bentangkan, secarik tikar pandan, kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran, airnya bening dan dingin mengalir beraturan, tanpa kata dia berwudhu duluan… aku pun di bawah air itu menampungkan tangan, ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan, hangat air terasa, bukan dingin kiranya, demikianlah air pancuran, bercampur dengan air mataku, yang bercucuran…. Dengan Puisi, Aku… Dengan puisi aku bernyanyi, Sampai senja umurku nanti, Dengan puisi aku bercinta, Berbatas cakrawala… Dengan puisi aku mengenang, Keabadian Yang Akan Datang, Dengan puisi aku menangis, Jarum waktu bila kejam mengiris… Dengan puisi aku mengutuk, Nafas zaman yang busuk, Dengan puisi aku berdoa, Perkenankanlah kiranya… Doa Tuhan kami, Telah nista kami dalam dosa bersama, Bertahun membangun kultus ini, Dalam pikiran yang ganda… Dan menutupi hati nurani, Ampunilah kami, Ampunilah, Amin… Tuhan kami, Telah terlalu mudah kami, Menggunakan asmaMu, Bertahun di negeri ini, Semoga… Kau rela menerima kembali, Kami dalam barisanMu, Ampunilah kami, Ampunilah, Amin… Adakah Suara Cemara buat Ati, Adakah suara cemara, Mendesing menderu padamu, Adakah melintas sepintas, Gemersik dedaunan lepas… Deretan bukit-bukit biru, Menyeru lagu itu, Gugusan mega, Ialah hiasan kencana, Adakah suara cemara… Mendesing menderu padamu, Adakah lautan ladang jagung, Mengombakkan suara itu… Puisi Taufik Ismail Tentang Perjuangan Oleh Hans Bague Jassin, Taufik Ismail dikategorikannya sebagai penyair “Angkatan 66”. Banyak sekali puisi dari beliau yang bertemakan tentang perjuangan melawan pemerintah yang berkhianat, untuk para demonstran, dan sebagainya. Berikut, beberapa diantaranya Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali, Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu, Anak-anak sekolah, Yang dulu berteriak dua ratus, dua ratus!.. Sampai bensin juga turun harganya, Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula, Mereka kehausan datam panas bukan main, Terbakar muka di atas truk terbuka, Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu… Biarlah sepuluh ikat juga, Memang sudah rezeki mereka, Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan, Seperti anak-anak kecil, “Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutani, Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya… Dan ada yang turun dari truk, bu, Mengejar dan menyalami saya, Hidup pak rambutan sorak mereka, Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar, “Hidup pak rambutan!” sorak mereka, Terima kasih, pak, terima kasih!… Bapak setuju karni, bukan?, Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara, Doakan perjuangan kami, pak, Mereka naik truk kembali, Masih meneriakkan terima kasih mereka, “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”, Saya tersedu, bu. Saya tersedu… Belum pernah seumur hidup, Orang berterima-kasih begitu jujurnya, Pada orang kecil seperti kita…. Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Tidak ada pilihan lain, Kita harus, Berjalan terus, Karena berhenti atau mundur, Berarti hancur… Apakah akan kita jual keyakinan kita, Dalam pengabdian tanpa harga, Akan maukah kita duduk satu meja, Dengan para pembunuh tahun yang lalu, Dalam setiap kalimat yang berakhiran, Duli Tuanku ?… Tidak ada lagi pilihan lain, Kita harus, Berjalan terus, Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan, Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh… Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara, Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama, Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka, Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan, Dan seribu pengeras suara yang hampa suara… Tidak ada lagi pilihan lain, Kita harus, Berjalan terus… Benteng Sesudah siang panas yang meletihkan, Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas, Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung, Bersandar dan berbaring, ada yang merenung… Di lantai bungkus nasi bertebaran, Dari para dermawan tidak dikenal, Kulit duku dan pecahan kulit rambutan, Lewatlah di samping Kontingen Bandung… Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana, Semuanya kumal, semuanya tak bicara, Tapi kita tldak akan terpatahkan, Oleh seribu senjata dari seribu tiran, Tak sempat lagi kita pikirkan… Keperluan-keperluan kecil seharian, Studi, kamar-tumpangan dan percintaan, Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam, Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam… Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal Pengkhianatan itu telah terjadi, Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret, Ada manager-manager politik, Ada despot yang lalim, Ada ruang sidang dalam istana, Ada hulubalang, Serta senjata-senjata… Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la, di sana tak ada kepala, tapi hu hu hu, tak ada kepala di atas bahu, Adalah tempolong ludah, Sipoa kantor dagang, Keranjang sampah, Melayang layang… Ada pernyataan otomatik, Ada penjara dan maut imajiner, Generasi yang kocak, Usahawan-usahawan politik yang kocak, Ruang sidang dalam istana, La la la, tempolong ludah tak berkepala, Hu hu hu, keranjang sampah di atas bahu, Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang, Melayang layang… Malam Sabtu Berjagalah terus, Segala kemungkinan bisa terjadi, Malam ini, Maukah kita dikutuk anak-cucu, Menjelang akhir abad ini, Karena kita kini berserah diri?… Tidak. Tidak bisa, Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh, Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri, Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya, Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa sabar mengurut dada?… Tidak. Tidak bisa, Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu, Suara doa berjuta-juta, Rakyat yang resah dan menanti, Mereka telah menanti lama sekali, Menderita dalam nyeri, Mereka sedang berdoa malam ini, Dengar. Dengarlah hati-hati…. Puisi Karya Taufik Ismail Terpopuler Lainnya Kopi Menyiram Hutan Tiga juta hektar, Halaman surat kabar, Telah dirayapi api, Terbit pagi ini, Panjang empat jari, Dua kolom tegaklurus, Dibongkar dari pik-ap… Subuh dari percetakan, Ditumpuk atas jalan, Dibereskan agen koran, Sebelum matahari dimunculkan, Dilempar ke pekarangan, Dipungut oleh pelayan, Ditaruh di meja makan.. Ditengok secara sambilan, Dasi tengah diluruskan, Rambut isteri penataan, Empat anak bersliweran, Pagi penuh kesibukan, Selai di tangan, Roti dalam panggangan… Ketika tangan bersilangan, Kopi tumpah di bacaan, Menyiram tiga juta hektar koran, Dua kolom kepanjangan, Api padam menutup hutan… Koran basah dilipat empat, Keranjang plastik anyaman, Tempat dia dibuangkan, Tepat pagi itu, Jam setengah delapan… Bayi Lahir Bulan Mei 1998 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga, Suaranya keras, menangis berhiba-hiba, Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya, Langsung dia memikul hutang di bahunya, Rupiah sepuluh juta… Kalau dia jadi petani di desa, Dia akan mensubsidi harga beras orang kota, Kalau dia jadi orang kota, Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya… Kalau dia bayar pajak, Pajak itu mungkin jadi peluru runcing, Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing, Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga… Mulutmu belum selesai bicara, Kau pasti dikencinginya… Syair Empat Kartu di Tangan Ini bicara blak-blakan saja, bang, Buka kartu tampak tampang, Sehingga semua jelas membayang, Monoloyalitas kami, sebenarnya pada uang… Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara, Koyak tampak terkubak semua, Sehingga buat apa basi dan basa… Sila kami, Keuangan Yang Maha Esa, Jangan sungkan buat apa yah-payah, Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah, Tak usahlah sah-susah… Ideologiku begitu jelas, ideologi rupiah, Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan, Setiap jeroan berjajar kelihatan, Sehingga jelas sebagai keseluruhan… Asas tunggalku, memang keserakahan. Takut 66, Takut 98 Mahasiswa takut pada dosen, Dosen takut pada dekan, Dekan takut pada rektor, Rektor takut pada menteri, Menteri takut pada presiden, Presiden takut pada mahasiswa, takut “66, takut “98… Oda Bagi Seorang Sopir Truk Sebuah truk lama,, Dengan supir bersahaja, Telah beruban dan agak bungkuk, Di atas stimya tertidur, Di tepi jalan yang sepi… Di suatu senja musim ini, Dalam tidumya ia bermimpi, Jalanan telah rata. Ditempuhnya, Dengan sebuah truk baru, Dengan klakson yang bisa berlagu… Dan di sepanjang jalanan, Beribu anak-anak demonstran, Tersenyum padanya, mengelu-elukan, Hiduplah bapak supir yang tua, Yang dulu berjuang bersama kami, Selama demonstrasi… Di tepi sebuah jalan di ibukota, Ketika udara panas, di suatu senja, Seorang supir lusuh dengan truk yang tua, Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk. Dari Catatan Seorang Demonstran Inilah peperangan, Tanpa jenderal, tanpa senapan, Pada hari-hari yang mendung, Bahkan tanpa harapan… Di sinilah keberanian diuji, Kebenaran dicoba dihancurkan, Pada hari-hari berkabung, Di depan menghadang ribuan lawan… Baca Juga Puisi Fiersa Besari Akhir Kata Sebenarnya, selain daftar di atas, masih banyak puisi oleh Taufik Ismail yang tidak sempat saya tuliskan keseluruhannya di sini. Kamu bisa menemukannya pada website resmi seperti Wikipedia dan lainnya, atau bisa juga via YouTube. Nah, demikianlah ulasan kali ini mengenai kumpulan Puisi Taufik Ismail terbaik, paling fenomenal dan populer. Semoga bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan serta wawasan kamu semua. Terima kasih… Puisi Hubungan (Karya Usmar Ismail) Sepenuhnya | Hubungan (buat imperialis kuning) Asal kau tahu Jika kita berdepan muka bukan sebagai kau dan aku engkau lambang tampuk kuasa aku bangsa hendak merdeka Jika sudah, kartu terlempar-buku di atas meja! Februari, 1945. Puisi: Hubungan. Karya: Usmar Ismail. Puisi Hubungan Karya Usmar Ismail Hubungan buat imperialis kuning Asal kau tahu... Jika kita berdepan muka bukan sebagai kau dan aku engkau lambang tampuk kuasa aku bangsa hendak merdeka Jika sudah, kartu terlempar-buku di atas meja! Februari, 1945CatatanPuisi "Hubungan" merupakan puisi pendek yang dikarang oleh Usmar Ismail, yang terkenal sebagai sutradara dan produser film Indonesia. Meskipun lebih dikenal dalam dunia perfilman, Usmar Ismail juga memiliki kecintaan terhadap sastra dan menulis beberapa adalah beberapa hal menarik yang dapat diinterpretasikan dari puisi pendek iniIdentitas dan Kekuasaan Puisi ini menyoroti hubungan antara dua entitas yang berbeda, yang mungkin dapat mewakili individu atau kelompok tertentu. Ada kontras antara "kau" sebagai simbol kuasa dan "aku" sebagai simbol bangsa yang ingin merdeka. Puisi ini mencerminkan konflik dan ketegangan dalam hubungan Kemerdekaan Puisi ini mengekspresikan semangat kemerdekaan dan tekad untuk mencapai kebebasan. Dengan menggunakan kata-kata seperti "bangsa hendak merdeka," puisi ini menggarisbawahi perjuangan dan semangat untuk mencapai kemerdekaan dari Penggunaan simbolisme dalam puisi ini terlihat dalam baris terakhir. Kartu yang dilemparkan dan buku yang diletakkan di atas meja bisa diartikan sebagai simbol penolakan dan perlawanan terhadap kekuasaan yang ada. Hal ini dapat mencerminkan semangat perubahan dan penggulingan sistem yang tidak puisi ini singkat, ia mencoba menyampaikan pesan yang kuat dan bersemangat. Puisi ini mencerminkan semangat perjuangan, kemerdekaan, serta penolakan terhadap penindasan dan kekuasaan yang tidak adil. Puisi Hubungan Karya Usmar Ismail

Citra pada awalnya adalah sajak karya Usmar Ismail tahun 1943. Dalam perkembangannya, beliau mengangkatnya sebagai suatu pertunjukan sandiwara, yang tokoh

PUISI WAJIB KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI Karya Taufiq Ismail dari Tirani dan Benteng, 1993 Tidak ada lagi pilihan Kita harus berjalan terus Karena berhenti atau mundur berarti hancur apakah akan kita jual keyakinan kita dalam pengabdian tanpa harga akan maukah kita duduk satu meja dengan para pembunuh tahun yang lalu dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku!” Tidak ada lagi pilihan Kita harus berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, Yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka Kita yang tak punya dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan Kita harus berjalan terus PUISI PILIHAN KEPADA SEORANG AYAH YANG BERBAHAGIA Karya Ida at DeKalb, DeKalb, June 10, 1999 Kubayangkan butir air mata memenuhi pelupuk matamu saat kau membacakan baris-baris kasih sayang kepada buah hatimu Kusapa, ada beberapa butir air mata menggantung di sukmaku hendak menyeruak ke dunia menemani keharuanmu Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini seperti hari kemarin, aku hanya bisa membisu coba kutulis beberapa kata ungkapan kehormatan kepadamu yang kini duduk menyaksikan ilham Allah merasuki tulang-tulang tuamu. Adakah aku akan melihat orang tuaku sebahagia lantunan nyanyian hatimu yang hendak menempuh tahap tertinggi kodrat manusia? aku merenung menggores bayangan butiran air matamu yang terdorong keluar oleh kebahagiaan aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku yang tak sanggup menahan keharuan menuntut jalan keluar, mungkin hendak berteman dengan air matamu DOA Karya Puisi oleh Chairil Anwar Tuhanku dalam termanggu ku sebut namu Mu biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh Tuhanku cahaya Mu panas suci bagai kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk kembara di negeri asing Tuhanku dipintuMu ku ketuk aku tak bisa berpaling. DISERANG RASA Karya Usmar Ismail Apa hendak dikata Jika rasa bersimaharajalela Di dalam batin gelisah saja Seperti menanti suatu yang hendak tiba Pastilah harapan berkelap-kelip Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi Bertambah kelesah hati yang gundah Sangsi, kecewa, meradang resah Benci, dendam……..rindu, cinta……… Ah, hujan rinai di waktu angin Bertiup kencang memercik muka Kemudian reda………tenang…….. di dalam air mata bergenang kembali harapan, kekuatan semakin nyata dari yang sudah-sudah, sebelum jiwa diserang rasa JALAN RAYA IBU KOTA Karya Leon Agusta Kudengar topan menggertak dan angin menerjang “Apakah belum lagi siap; aku tak akan pernah siap” Bahkan untuk tidur Tapi aku tertidur juga Diayunkan deru cemas Dinyanyikan jeritan badai Sampai pagi yang pucat Membangunkanku “dalam tidur, mimpi buruk selalu mengejarku” Pagi hari Musim tampak memanjang oleh cahaya yang rebah Dari timur Dan kabut masih kental mendekap jendela Kutatap Koran pagi yang terhantar lemas di atas meja “Cinta kekaksihku lenyap di jalan raya” “Dendam kekasihku berkeliaran di jalan raya” Aku cemas sebab aku belum kemas untuk menyempatnya Di senja penghabisan; di jaringan jalan raya ibu kota Berdebaran aku menunggu begitu gairah Mendengar nyanyian dan bisikannya Walau mimpi buruk selalu mengejar KEPADA KI HAJAR DEWANTARA Karya Sanusi Pane, 1957 Dalam kebun di tanah airku Tumbuh sekuntum bunga teratai Tersembunyi kembang indah permai Tiada terlihat orang yang lalu Akhirnya tumbuh di hati dunia Daun bersemi, laksmi mengarang Biarpun dia diabaikan orang Seroja kembang gemilang mulia teruslah, o, teratai bahagia berseri di kebun Indonesia biarkan sedikit penjaga taman biarpun engkau tidak terlihat biarpun engkau tidak diminat engkau turun menjaga taman SAJAK PUTIH Oleh Rachmat Djoko Pradopo Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam noda tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita mati datang tidak membelah…….. SENJATA Karya Oleh Abdul Wahid Situmeang Keringat mengucur darah memancur Dari dada pahlawan yang gugur Panji perjuangan pantang mundur Merebut tampuk hari Serta menggenggamnya dalam kepalan Dalam arus waktu yang menghapus kesabaran Senjata kita adalah keringat Senjata kita adalah darah Keringat dan darah dari jiwa yang luhur SURAT DARI IBU Karya Asrul Sani Pergi ke dunia luas anakku sayang Pergi ke hidup bebas! Selama angin masih angin buritan Dan matahari pagi menyinar daun-daunan Dalam rimba dan padang hijau Pergi ke laut lepas anakku sayang Pergi ke alam bebas! Selama hari belum petang Dan warna senja belum kemerah-merahan Menutup pintu waktu lampau Jika bayang telah pudar Dan elang laut pulang ke sarang Angin bertiup ke benua Tiang-tiang akan kering sendiri Dan nahkoda sudah tahu pedoman Boleh engkau datang padaku! Kembali pulang anakku sayang Kembali ke balik malam! Jika kapalmu sudah rapat ke tepi Kita akan bercerita “Tentang cinta dan hidupmu pagi hari” IBUKU DAHULU Karya Amir Hanzah dari Nyanyi Sunyi Ibuku dahulu marah padaku Diam dia tiada berkata Aku pun lalu merajut pilu Tiada peduli apa terjadi Matanya terus mengawas aku Walaupun bibirnya tiada bergerak Mukanya masam menahan sedan Hatinya pedih karena lakuku Terus aku berkesan hati Menurutkan setan mengacau balau Jurang celaka terpandang di muka Kusongsong juga biar cedera Bangkit ibu dipegangnya aku Dirangkumnya segera dikulupnya serta Dahiku berapi pancaran neraka Sejuk sentosa turun ke kalbu Demikian engkau Ibu, bapa, kekasih pula Berpadu satu dalam dunia ANTARA TIGA KOTA Oleh Emha Ainun Najib dari Sajak-Sajak Sepanjang Jalan Di yogya aku lelap tidur Angin disisiku mendengkur Seluruh kota pun bagai dalam kubur Pohon-pohon semua mengantuk Di sini kamu harus belajar berlatih, tetap hidup sambil mengantuk kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga? Jakarta menghardik nasibku Melecut menghantam pundakku Tiada ruang bagi diamku. Matahari melototiku Bising suaranya mencampakkanku, Jatuh bergelut debu Kemanakah harus kuhadapkan muka Agar seimbang antara tidur dan jaga? Surabaya seperti di tengahnya Tak tidur seperti kerbau tua Tak juga membelalakkan mata Tapi di sana ada kasihku, Yang hilang kembangnya. Jika aku mendekatinya Kemanakah harus kuhadapkan muka Agar seimbang antara tidur dan jaga? KARANGAN BUNGA Oleh Taufiq Ismail Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi YANG KAMI MINTA HANYALAH Karya Taufiq Ismail Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja Penawar musin kemarau dan tangkal bahaya banjir Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota Tatkala semua orang bersedih sekadarnya Dari kaki langit ke kaki langit air membusa Dari tahun ke tahun ia datang melanda Sejak dari tumit, ke paha lalu lewat kepala Menyeret semua Bila air surut tinggallah angin menudungi kami Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki Kelepak podang di pohon randu Bila tanggul pecah tinggallah runtuhan lagi Sawah retak-retak berebahan tangkai padi Nyanyi katak bertalu-talu Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja Tidak tugu atau tempat main bola Air mancur warna-warni Kirimlah kapur dan semen Insinyur ahli Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta Yang sampai kepada kami Bertahun-tahun kita merdeka, bapa Yang kami minta hanya sebuah bendungan saja Kabulkanlah kiranya TERIMA KASIH KEPADA PAGI Karya Subagjo Sastrowardojo Terima kasih kepada pagi Yang membawa nyawaku Pulang dari kembara Di laut mimpi gelombang begitu tinggi Dan bulan yang berlayar tenggelam di kelam badai Terenggut dari pantai Aku berteriak minta matahari Pagi Terima kasih Jejak kaki Masih tertinggal Di pasir sepi PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, Dari manakah mereka Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa Sebelum peluit kereta pagi terjaga Sebelum hari bermula dalam pesta kerja Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta Kemanakah mereka Di atas roda-roda baja mereka berkendara Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota Merebut hidup di pasar-pasar kota Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, Siapakah mereka Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa PRIANGAN SI JELITA Karya Ramadhan KH dari Priangan si Jelita, 1965 Seruling di pasir ipis, Merdu antara gundukan pohon pina Tembang menggema di dua kaki Burangrang – Tangkuban perahu Jamrut di pucuk-pucuk Jamrut di air tipis menurun Membelit tangga di tanah merah Dikenal gadis-gadis dari bukit Nyanyikan kentang sudah digali, Kenakan kebaya merah ke pewayangan Jamrut di pucuk-pucuk Jamrut di hati gadis menurun KRAWANG BEKASI Karya Chairil Anwar Dari Aku ini Binatang Jalang, Koleksi sajak 1942 – 1949 Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang-kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan Arti 4 – 5 ribu nyawa Kami Cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang Untuk kemerdekaan kemenangan Dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Mengapa Bung Karno Mengapa Bung Hatta Mengapa Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjaga terus di garis batas pernyataan Dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang – Bekasi v2ooL. 471 360 215 220 491 221 343 64 304

kumpulan puisi karya usmar ismail